Bagaimana power yang di bangun dalam bahasa
politik dan bagamana semestinya kita memahami bahasa politik tersebut ?
Berbicara mengenai bahasa-bahasa politik yang sering
dituturkan oleh para politisi khususnya saat berkampanye sepatutnya harus di
analisis dari segi bahasa sebagai teks. Dimana dalam hal ini yang dimaksud teks
interaksional adalah teks yang menjawab apa sebenarnya yang terjadi (Sandarupa,
2013: Pendekatan Antropolinguistik;
Bahasa Sebagai Teks). Manfaatnya adalah mengurangi interpretasi yang
ekspektasi tinggi terhadap janji-janji dalam tuturan-tuturan politik oleh
seorang politisi.
Pendekatan
Semiotik Peirce
Untuk mengenali teks-teks interaksional dalam bahasa
politik bisa dipakai teori semiotik Pierce (Pierce, 1940) yang dikembangkan
oleh Silverstein (1984-2003) melalu teori indeksikalitas. Lihat (Sandarupa, 2013)
Dari teori semiotik indeksikalitas oleh Pierce dan
Silverstein bisa dikenali bahwa ujaran-ujaran oleh seorang politisi khususnya
yang bersifat kampanye tidak sesuai lagi dengan apa yang sebenarnya dikatakan
dan bisa saja itu hanya bahasa pinjaman dari wacana publik. Telah kita lihat
buktinya bahkan sudah sangat jelas berapa orang yang duduk dikursi pemerintahan
yang bisa menepati janjinya. Salah satu contoh ada pada satu partai yang mana
dulu sebelum pemilu para anggotanya berikrar sangat tegas mengatakan katakan tidak pada korupsi tapi sungguh ironis malahan pejabat-pejabat
intinya yang banyak korupsi. Tidak terjadi pada partai itu saja tapi terjadi
pula pada partai lain. Mendengar hal itu sontak masyarakat luas memberi
penilaian bahwa orang-orang dalam partai tersebut telah melanggar ikrarnya
untuk tidak korupsi. Andaikan saja sudah sudah ada kejelian melihat tuturan
yang terdapat dalam ikrar tersebut dari segi bahasa sebagai teks interaksional
maka masyarakat
mungkin tidak mempermasalahkan karena ujaran
tersebut bukan lagi petanda untuk serius tidak korupsi tetapi merupakan petanda
untuk keinginan yang lain.
Level
Analisis Masyarakat
Terdapat kekeliruan terhadap sebagian orang di era
sekarang ini dalam memaknai bahasa-bahasa politik sehingga kecerdasan memilih
pemimpin tidak bisa tercapai. Meskipun bahasa hanya merupakan salah satu faktor
bagi para politisi untuk mendapatkan dukungan tapi itu sangat berpengaruh pada
sebagian masyarakat. Masih banyak kalangan melihat makna bahasa tersebut dari
segi makna literal kurang lebih seperti hasil terjemahan kamus apa yang
terdengar itu yang dipahami
Sebagian orang memang masih memandang bahasa dari segi
paradigma struktural; memaknai bahasa sesuai dengan struktur element-element
grammar yang membangun ujaran-ujaran yang ada sehingga terjebak kedalam
janji-janji manis yang terkandung dalam ujaran-ujaran tersebut. Inilah yang
sering dimanfaatkan oleh para politisi meskipun masih banyak politisi yang
belum menyadari bahwa kebenaran tuturanya bisa dianalisis melalui bahasa
sebagai teks interaksional.
Mengonstruksi
power
Berdasar pada teori performativitas Austin (Austin, 1962)
terdapat kompetensi yang dibina dalam tuturan yakni membangun social power inilah yang ada dalam
bahasa politik. Bahasa-bahasa kampanye jika disimpulkan didapatkan dua tuturan
yang sering terdengar yaitu bebas korupsi
dan mensejahterakan rakyat. Dari
tuturan tersebut banyak kalangan hanya terpaku pada makna sesungguhnya yaitu
makna bahwa yang bersangkutan dalam hal ini yang mengeluarkan tuturan tidak akan korupsi dan akan mensejahterakan
rakyat jika ia terpilih. Pengamatan seperti ini hanya ada pada level bahasa
sebagai teks denotasi. Orang-orang lupa bahwa ada relasi sosial sebagai
komponen makna yang dikonstruksi dalam tuturan-tuturan tersebut. Disinilah
keistimewaan bahasa yang mempunyai dua fungsi yaitu alat komunikasi dan
mengonstruksi relasi sosial baik positif, negatif harmonis dan
disharmonis(Sandarupa, 2013). Ujaran ini secara tidak langsung berwujud
imperatif atau perintah yang bersifat ajakan bahwa pilihlah saya ! jangan pilih yang lain sama halnya dengan ikrar
pada partai yang dibahas sebelumnya. Inilah makna pelengkap dari sebuah
tuturan-tuturan politik yang ada pada level teks interaksional. Pada level ini
politisi memang hanya mau dipilih tapi bebas korupsi dan mensejahterakan rakyat
belum tentu.
Makna-makna bahasa politik pada level teks interaksional
terbentuk sedemikian rupa yang membuatnya berpower yakni diantaranya terjadi intertekstual
bahasa dalam bentuk dialogisme. Sadar
atau tidak sadar para politisi mengungkapkan visi-misi dan slogannya kepada
rakyat luas dengan menggunakan teks-teks yang ada dalam wacana publik terutama
mengenai bebas korupsi dan kesejahteraan rakyat. Selain itu terjadi pula kontekstualisasi bahasa dimana para
politisi menyampaikan visi-misinya dengan tegas untuk bebas korupsi dan
pentingnya mensejahterajan rakyat; dan inilah sangat diidam-idamkan seluruh
element masyarakat maka didekatkanlah bahasa pada realitanya bahwa korupsi
harus diberantas dan rakyat harus disejahterakan.
Sadar tidak sadar orang bisa terpengaruh dengan bahasa
politik oleh karena itu diperlukan pemahaman untuk memaknai tuturan-tuturan
politik yang ada karena fakta telah memperlihatkan banyak pejabat tidak sesuai
ujaran dan perbuatannya. Analsis bahasa dileven teks interaksional diperlukan
disini untuk lebih cerdas memilih calon pemimpin.
Sebagai kesimpulan para politisi yang berbuat menyimpang
dari ujarannya bisa saja benar jika dipandang dari teks interaksional dan
kebenaran ini hanya bisa dipetik ilmu bahasanya saja karena kebenaran dilevel
perbuatan secara etika,hukum dan norma-norma negara kita KORUPSI adalah
perbuatan yang sangat terlaknat.
Diperlukan pemahaman bahasa sebagai teks untuk
menghindari terjadinya pertengkaran dan perdebatan serta konflik akibat
kontroversi bahasa politik.