Wikipedia

Search results

Ingin Mahir MS Excel silahkan klik gambar berikut ini

Mahir Microsoft Excel 486x60

Dapatkan E-Book Motivasi

Ebook Motivasi 728x90

Tuesday, November 5, 2013

Bahasa Politik Pada Level Teks Interaksional




Bagaimana power yang di bangun dalam bahasa politik dan bagamana semestinya kita memahami bahasa politik tersebut ?
            Berbicara mengenai bahasa-bahasa politik yang sering dituturkan oleh para politisi khususnya saat berkampanye sepatutnya harus di analisis dari segi bahasa sebagai teks. Dimana dalam hal ini yang dimaksud teks interaksional adalah teks yang menjawab apa sebenarnya yang terjadi (Sandarupa, 2013: Pendekatan Antropolinguistik; Bahasa Sebagai Teks). Manfaatnya adalah mengurangi interpretasi yang ekspektasi tinggi terhadap janji-janji dalam tuturan-tuturan politik oleh seorang politisi.
Pendekatan Semiotik Peirce
            Untuk mengenali teks-teks interaksional dalam bahasa politik bisa dipakai teori semiotik Pierce (Pierce, 1940) yang dikembangkan oleh Silverstein (1984-2003) melalu teori indeksikalitas. Lihat (Sandarupa, 2013)
            Dari teori semiotik indeksikalitas oleh Pierce dan Silverstein bisa dikenali bahwa ujaran-ujaran oleh seorang politisi khususnya yang bersifat kampanye tidak sesuai lagi dengan apa yang sebenarnya dikatakan dan bisa saja itu hanya bahasa pinjaman dari wacana publik. Telah kita lihat buktinya bahkan sudah sangat jelas berapa orang yang duduk dikursi pemerintahan yang bisa menepati janjinya. Salah satu contoh ada pada satu partai yang mana dulu sebelum pemilu para anggotanya berikrar sangat tegas mengatakan katakan tidak pada korupsi  tapi sungguh ironis malahan pejabat-pejabat intinya yang banyak korupsi. Tidak terjadi pada partai itu saja tapi terjadi pula pada partai lain. Mendengar hal itu sontak masyarakat luas memberi penilaian bahwa orang-orang dalam partai tersebut telah melanggar ikrarnya untuk tidak korupsi. Andaikan saja sudah sudah ada kejelian melihat tuturan yang terdapat dalam ikrar tersebut dari segi bahasa sebagai teks interaksional maka masyarakat
 mungkin tidak mempermasalahkan karena ujaran tersebut bukan lagi petanda untuk serius tidak korupsi tetapi merupakan petanda untuk keinginan yang lain.
Level Analisis Masyarakat
            Terdapat kekeliruan terhadap sebagian orang di era sekarang ini dalam memaknai bahasa-bahasa politik sehingga kecerdasan memilih pemimpin tidak bisa tercapai. Meskipun bahasa hanya merupakan salah satu faktor bagi para politisi untuk mendapatkan dukungan tapi itu sangat berpengaruh pada sebagian masyarakat. Masih banyak kalangan melihat makna bahasa tersebut dari segi makna literal kurang lebih seperti hasil terjemahan kamus apa yang terdengar itu yang dipahami
            Sebagian orang memang masih memandang bahasa dari segi paradigma struktural; memaknai bahasa sesuai dengan struktur element-element grammar yang membangun ujaran-ujaran yang ada sehingga terjebak kedalam janji-janji manis yang terkandung dalam ujaran-ujaran tersebut. Inilah yang sering dimanfaatkan oleh para politisi meskipun masih banyak politisi yang belum menyadari bahwa kebenaran tuturanya bisa dianalisis melalui bahasa sebagai teks interaksional.
Mengonstruksi power
            Berdasar pada teori performativitas Austin (Austin, 1962) terdapat kompetensi yang dibina dalam tuturan yakni membangun social power inilah yang ada dalam bahasa politik. Bahasa-bahasa kampanye jika disimpulkan didapatkan dua tuturan yang sering terdengar yaitu bebas korupsi dan mensejahterakan rakyat. Dari tuturan tersebut banyak kalangan hanya terpaku pada makna sesungguhnya yaitu makna bahwa yang bersangkutan dalam hal ini yang mengeluarkan tuturan tidak akan korupsi dan akan mensejahterakan rakyat jika ia terpilih. Pengamatan seperti ini hanya ada pada level bahasa sebagai teks denotasi. Orang-orang lupa bahwa ada relasi sosial sebagai komponen makna yang dikonstruksi dalam tuturan-tuturan tersebut. Disinilah keistimewaan bahasa yang mempunyai dua fungsi yaitu alat komunikasi dan mengonstruksi relasi sosial baik positif, negatif harmonis dan disharmonis(Sandarupa, 2013). Ujaran ini secara tidak langsung berwujud imperatif atau perintah yang bersifat ajakan bahwa pilihlah saya ! jangan pilih yang lain sama halnya dengan ikrar pada partai yang dibahas sebelumnya. Inilah makna pelengkap dari sebuah tuturan-tuturan politik yang ada pada level teks interaksional. Pada level ini politisi memang hanya mau dipilih tapi bebas korupsi dan mensejahterakan rakyat belum tentu.
            Makna-makna bahasa politik pada level teks interaksional terbentuk sedemikian rupa yang membuatnya berpower yakni diantaranya terjadi intertekstual bahasa dalam bentuk dialogisme. Sadar atau tidak sadar para politisi mengungkapkan visi-misi dan slogannya kepada rakyat luas dengan menggunakan teks-teks yang ada dalam wacana publik terutama mengenai bebas korupsi dan kesejahteraan rakyat. Selain itu terjadi pula kontekstualisasi bahasa dimana para politisi menyampaikan visi-misinya dengan tegas untuk bebas korupsi dan pentingnya mensejahterajan rakyat; dan inilah sangat diidam-idamkan seluruh element masyarakat maka didekatkanlah bahasa pada realitanya bahwa korupsi harus diberantas dan rakyat harus disejahterakan.
            Sadar tidak sadar orang bisa terpengaruh dengan bahasa politik oleh karena itu diperlukan pemahaman untuk memaknai tuturan-tuturan politik yang ada karena fakta telah memperlihatkan banyak pejabat tidak sesuai ujaran dan perbuatannya. Analsis bahasa dileven teks interaksional diperlukan disini untuk lebih cerdas memilih calon pemimpin.
            Sebagai kesimpulan para politisi yang berbuat menyimpang dari ujarannya bisa saja benar jika dipandang dari teks interaksional dan kebenaran ini hanya bisa dipetik ilmu bahasanya saja karena kebenaran dilevel perbuatan secara etika,hukum dan norma-norma negara kita KORUPSI adalah perbuatan yang sangat terlaknat.
            Diperlukan pemahaman bahasa sebagai teks untuk menghindari terjadinya pertengkaran dan perdebatan serta konflik akibat kontroversi bahasa politik.



No comments:

Post a Comment