FINAL
EXAM ANTHROPHOLINGUISTIC
Nama
: Masdar NIM : F21110305
1.
Kebudayaan
sebagai komunikasi berdasarkan pendekatan indeksikalitas dan metapragmatik.
Jawaban :
Kebudayaan sebagai
komunikasi berdasarkan teori
indeksikalitas disebut sebagai teori terbaru yang dikembangkan oleh Silverstein
dari teori Pierce. Menurut pandangan ini ada delapan gaya komunikatif budaya,
tidak hanya mewakili aspek realitas tetapi juga menghubungkan individu,
kelompok, situasi, dan objek individu lain, kelompok, situasi dan benda, atau
lebih umum ke konteks lain (Duranti, 1997:37). Dalam pandangan ini bearti
(pesan, tindakan, situasi) dimungkinkan tidak hanya melalui hubungan konvensional
antara tanda dan isinya – misalnya kata meja
berarti jenis tertentu dari obyek material di mana orang-orang duduk dan
melaksanakan tugas-tugas tertentu - tetapi juga koneksi melalui tanda -
diaktifkan antara aspek-aspek tertentu dari yang sedang berlangsung situasi dan
aspek situasi lain .
Komunikasi
bukan hanya penggunaan simbol-simbol yang " standing for " keyakinan , perasaan , identitas , peristiwa ,
juga merupakan cara menunjuk ke , mengandaikan atau membawa ke dalam keyakinan
konteks kekinian , perasaan , identitas , peristiwa . Ini adalah apa yang
kadang-kadang disebut makna indexical tanda-tanda .
Jenis
makna bukan hanya mencakup deiksis seperti disini, disana, aku, kamu, sekarang,
kemarin dan lain-lain tetapi makna sesungguhnya diketahui jika konteksnya juga
diketahui. Misalnya kata saya makna
baru diketahui jika yang mengucapkan sudah diketahui. Dalam kerangka ini bahasa
melalui indeksikalnya menggunakan unsur-unsurnya, memberikan teori tindakan
manusia yang disebut metapragmatik Silverstein dalam (Duranti, 1997:38).
Manifestasi
budaya sebagai komunikasi menurut Geertz adalah manusia menciptakan budaya dan
menginterpretasikan secara simbolik.
(Sumber bacaan : Duranti, Alexandro 1997, Linguistic Anthrophology pag.
36,37 and 38)
2.
Perbedaan
teori semiologi Saussure dan teori semiotik Peirce
Jawaban :
Menurut Saussure
dibedakan antara bahasa dan tuturan. Bahasa berada pada tingkat langue sedangkan tuturan berada pada
tingkat parole. Bagi Saussure la
langue atau bahasa “is a system in which
all elements fit together, and in which the value of any one defends on the
simultaneous coexistence of all the others” Saussure dalam (Sandarupa,
2013:4).
Ketika bahasa masih
dalam pikiran atau abstrak maka disebut langue
(bahasa), sedangkan ketika bahasa tersebut dituturkan maka tuturan itulah
disebut parole dan disebut juga
eksekusi dari bahasa. Bagi Saussure sistem tanda terbagi atas dua yaitu petanda
(signified) dan penanda (signifier). Segala tuturan seperti contoh balcony menjadi petanda yang
terhubungkan dengan obyeknya yang disebut image
accoustique atau penanda (signifier). Sehingga dikatakan bahwa tanda
memediasikan antara dua subtansi karena itu ia merupakan forma yang satu
sisinya menghadap konsep yang disebut signified dan lainnya menghadap image acoustique yang disebut signifier,
Saussure dalam (Sandarupa, 2013:4). Namun tanda pada teori Saussure tidak
berkembang dan segala ujaran sifatnya homogen.
Berbeda dengan Saussure
menurut Pierce, “sebuah tanda, atau
representamen, adalah sesuatu yang menunjuk pada seorang untuk sesuatu dari
beberapa sudut atau kapasitasn. Ia menyapa seseorang, yaitu menciptakan dalam
orang itu tanda yang sama, atau sesuatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang
ia ciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda pertama. Tanda menunjuk pada
sesuatu, objeknya. Ia menunjuk objek itu, bukan dalam semua segi, melainkan
dalam kaitannya dengan semacam ide, yang kadang-kadang saya sebut dasar
representamen. Pierce dalam (Sandarupa, 2013:15).
Bagi pierce tanda
diproduksi oleh representamen dan diterimah oleh interpretan dalam bentuk tanda
yang sama dan diinterpretasi melalui ground (idea) lalu menunjuk ke objek.
Seorang interpretan berkaitan dengan pemahaman menurut Pierce, berbeda dengan
Saussure yang memandang sisi produksi dan resepsi ujaran sebagai sesuatu yang
homogen, sedangkan menurut Pierce itu sesuatu yang aktif dan tanda yang
diterimah adalah sama namun bisa saja menjadi tanda yang berkembang.
Pierce dalam
(Sandarupa, 2013:16) juga membagi tanda kedam tiga trikotomi. Pertama adalah
tanda dalam dirinya sendiri dan dibagi kedalam qualisign, sinsign dan legisign.
Trikotomi kedua membagi tanda kedalam ikon, indeks dan simbol. Terakhir,
trikotomi ketiga membagi tanda kedalam rema, decisign dan argumen.
(Referensi : Pidato Calon Guru
Besar November 2013 hal. 4, 15 dan 16)
3.
(nomor
5) Kesadaran metabahasa kaitannya dengan teks-konteks
Jawaban :
Teori antropologi
linguistik sekarang ini memandang bahasa sebagai teks. Budaya dijelaskan
sebagai konteks sedangkan bahasa dijelaskan sebagai teks. Dari teori itulah
lahir analisis bahasa dalam teks-konteks.
Bahasa memang tidak bisah dipisahkan
dengan konteksnya karena apabila konteks terpisah dari teksnya maka bagaikan
jasad tanpa roh sehingga dalam penggunaannya akan melahirkan kebohongan seperti
para politisi yang berjanji tidak akan korupsi dan ternyata korupsi juga.
Adanya konteks yang tak
pernah lepas dari teks atau kesesuaian teks-konteks adalah bentuk dari
kesadaran metabahasa. Dalam tulisan Stanislaus Sandarupa yang berjudul The voice of
Child : Construction a Moral Society Through Retteng Poetic Performance
In Toraja, Sulawesi, Indonesia digambarkan kesadaran metabahasa melalui kata kerja tabe ‘forgive’, siman ‘pardon’, (baris 1) sebagai ekspresi minta maaf dan dibaris
4-7 terdapat kata kerja umbatting
‘lament’, ma’rio-rio ‘mourn’, kua ‘say’, o’ton ‘press down’, untule ‘tell
again. Semua kata kerja tersebut termasuk dalam kata kerja mengatakan (verbum discendi) yang kesemuanya mengekspresikan
ungkapan duka cita karena kematian.
Kesadaran metabahasa
bisa merubah sesuatu menjadi kekal seperti apa yang dilakukan oleh
Soekarno-Hatta dalam memproklamasikan
kemerdekaan indonesia, dan alhasil sampai sekarang kemerdekaan itu tetap kita
nikmati (Kompas, 04/12/2013). Kekuatan kata proklamasi
dalam menyatakan kemerdekaan betul-betul konteksnya kita merdeka dari
penjajahan, namun konteks kemerdekaan tersebut nampaknya mulai dikhianati.
Selain itu bersumpah pada sumpah
pemuda juga mengubah bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan melalui kata
kerja menjunjung (Kompas,
04/12/2013). Oleh karena itu untuk terus menyesuaikan kata menjunjung dengan konteks berbahasa satu maka marilah menjaga
bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan.
( Bahan Bacaan : Pemerkosaan
Kesadaran Metabahasa dan The Voice Of Child )