Wikipedia

Search results

Ingin Mahir MS Excel silahkan klik gambar berikut ini

Mahir Microsoft Excel 486x60

Dapatkan E-Book Motivasi

Ebook Motivasi 728x90

Tuesday, December 10, 2013

Bahasa Sebagai Teks-konteks



FINAL EXAM ANTHROPHOLINGUISTIC
Nama : Masdar          NIM : F21110305

1.      Kebudayaan sebagai komunikasi berdasarkan pendekatan indeksikalitas dan metapragmatik.
Jawaban :
Kebudayaan sebagai komunikasi  berdasarkan teori indeksikalitas disebut sebagai teori terbaru yang dikembangkan oleh Silverstein dari teori Pierce. Menurut pandangan ini ada delapan gaya komunikatif budaya, tidak hanya mewakili aspek realitas tetapi juga menghubungkan individu, kelompok, situasi, dan objek individu lain, kelompok, situasi dan benda, atau lebih umum ke konteks lain (Duranti, 1997:37). Dalam pandangan ini bearti (pesan, tindakan, situasi) dimungkinkan tidak hanya melalui hubungan konvensional antara tanda dan isinya – misalnya kata meja berarti jenis tertentu dari obyek material di mana orang-orang duduk dan melaksanakan tugas-tugas tertentu - tetapi juga koneksi melalui tanda - diaktifkan antara aspek-aspek tertentu dari yang sedang berlangsung situasi dan aspek situasi lain .
Komunikasi bukan hanya penggunaan simbol-simbol yang " standing for " keyakinan , perasaan , identitas , peristiwa , juga merupakan cara menunjuk ke , mengandaikan atau membawa ke dalam keyakinan konteks kekinian , perasaan , identitas , peristiwa . Ini adalah apa yang kadang-kadang disebut makna indexical tanda-tanda .
Jenis makna bukan hanya mencakup deiksis seperti disini, disana, aku, kamu, sekarang, kemarin dan lain-lain tetapi makna sesungguhnya diketahui jika konteksnya juga diketahui. Misalnya kata saya makna baru diketahui jika yang mengucapkan sudah diketahui. Dalam kerangka ini bahasa melalui indeksikalnya menggunakan unsur-unsurnya, memberikan teori tindakan manusia yang disebut metapragmatik Silverstein dalam (Duranti, 1997:38).
Manifestasi budaya sebagai komunikasi menurut Geertz adalah manusia menciptakan budaya dan menginterpretasikan secara simbolik.
(Sumber bacaan : Duranti, Alexandro 1997, Linguistic Anthrophology pag. 36,37 and 38)

2.      Perbedaan teori semiologi Saussure dan teori semiotik Peirce

Jawaban :
Menurut Saussure dibedakan antara bahasa dan tuturan. Bahasa berada pada tingkat langue sedangkan tuturan berada pada tingkat parole. Bagi Saussure la langue atau bahasa “is a system in which all elements fit together, and in which the value of any one defends on the simultaneous coexistence of all the others” Saussure dalam (Sandarupa, 2013:4).
Ketika bahasa masih dalam pikiran atau abstrak maka disebut langue (bahasa), sedangkan ketika bahasa tersebut dituturkan maka tuturan itulah disebut parole dan disebut juga eksekusi dari bahasa. Bagi Saussure sistem tanda terbagi atas dua yaitu petanda (signified) dan penanda (signifier). Segala tuturan seperti contoh balcony menjadi petanda yang terhubungkan dengan obyeknya yang disebut image accoustique atau penanda (signifier). Sehingga dikatakan bahwa tanda memediasikan antara dua subtansi karena itu ia merupakan forma yang satu sisinya menghadap konsep yang disebut signified dan lainnya menghadap image acoustique yang disebut signifier, Saussure dalam (Sandarupa, 2013:4). Namun tanda pada teori Saussure tidak berkembang dan segala ujaran sifatnya homogen.
Berbeda dengan Saussure menurut Pierce, “sebuah tanda, atau representamen, adalah sesuatu yang menunjuk pada seorang untuk sesuatu dari beberapa sudut atau kapasitasn. Ia menyapa seseorang, yaitu menciptakan dalam orang itu tanda yang sama, atau sesuatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang ia ciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda pertama. Tanda menunjuk pada sesuatu, objeknya. Ia menunjuk objek itu, bukan dalam semua segi, melainkan dalam kaitannya dengan semacam ide, yang kadang-kadang saya sebut dasar representamen. Pierce dalam (Sandarupa, 2013:15).
Bagi pierce tanda diproduksi oleh representamen dan diterimah oleh interpretan dalam bentuk tanda yang sama dan diinterpretasi melalui ground (idea) lalu menunjuk ke objek. Seorang interpretan berkaitan dengan pemahaman menurut Pierce, berbeda dengan Saussure yang memandang sisi produksi dan resepsi ujaran sebagai sesuatu yang homogen,  sedangkan menurut Pierce  itu sesuatu yang aktif dan tanda yang diterimah adalah sama namun bisa saja menjadi tanda yang berkembang.
Pierce dalam (Sandarupa, 2013:16) juga membagi tanda kedam tiga trikotomi. Pertama adalah tanda dalam dirinya sendiri dan dibagi kedalam qualisign, sinsign dan legisign. Trikotomi kedua membagi tanda kedalam ikon, indeks dan simbol. Terakhir, trikotomi ketiga membagi tanda kedalam rema, decisign dan argumen.

(Referensi : Pidato Calon Guru Besar November 2013 hal. 4, 15 dan 16)



3.      (nomor 5) Kesadaran metabahasa kaitannya dengan teks-konteks

Jawaban :
Teori antropologi linguistik sekarang ini memandang bahasa sebagai teks. Budaya dijelaskan sebagai konteks sedangkan bahasa dijelaskan sebagai teks. Dari teori itulah lahir analisis bahasa dalam teks-konteks. Bahasa  memang tidak bisah dipisahkan dengan konteksnya karena apabila konteks terpisah dari teksnya maka bagaikan jasad tanpa roh sehingga dalam penggunaannya akan melahirkan kebohongan seperti para politisi yang berjanji tidak akan korupsi dan ternyata korupsi juga.
Adanya konteks yang tak pernah lepas dari teks atau kesesuaian teks-konteks adalah bentuk dari kesadaran metabahasa. Dalam tulisan Stanislaus Sandarupa yang berjudul The voice of  Child : Construction a Moral Society Through Retteng Poetic Performance In Toraja, Sulawesi, Indonesia digambarkan kesadaran  metabahasa melalui kata kerja tabe ‘forgive’, siman ‘pardon’, (baris 1) sebagai ekspresi minta maaf dan dibaris 4-7 terdapat kata kerja umbatting ‘lament’, ma’rio-rio ‘mourn’, kua ‘say’, o’ton ‘press down’, untule ‘tell again. Semua kata kerja tersebut termasuk dalam kata kerja mengatakan (verbum discendi) yang kesemuanya mengekspresikan ungkapan duka cita karena kematian.
Kesadaran metabahasa bisa merubah sesuatu menjadi kekal seperti apa yang dilakukan oleh Soekarno-Hatta dalam memproklamasikan kemerdekaan indonesia, dan alhasil sampai sekarang kemerdekaan itu tetap kita nikmati (Kompas, 04/12/2013). Kekuatan kata proklamasi dalam menyatakan kemerdekaan betul-betul konteksnya kita merdeka dari penjajahan, namun konteks kemerdekaan tersebut nampaknya mulai dikhianati. Selain itu bersumpah pada sumpah pemuda juga mengubah bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan melalui kata kerja menjunjung (Kompas, 04/12/2013). Oleh karena itu untuk terus menyesuaikan kata menjunjung dengan konteks berbahasa satu maka marilah menjaga bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan.

( Bahan Bacaan : Pemerkosaan Kesadaran Metabahasa dan The Voice Of Child )



2 comments:

  1. hahaha... kenapa di upload jawabannya bang???

    ReplyDelete
  2. Maaf ya klo ada kekeliruan krn hasil translate bela

    ReplyDelete