Negara yang besar adalah
negara yang memiliki identitas, negara yang besar adalah negara yang memelihara
hasil peradabannya.
Lontara adalah salah satu
hasil peradaban masa lalu rumpun bugis (suku bugis, suku makassar, suku mandar)
dan telah menjadi identitas kejayaan masa lalu. Ada apa dengan Lontara di era
sekarang ?
Bukan Sekedar
Aksara
Rumpun Bugis merupakan salah
satu didunia ini yang mempunyai aksara. Yang paling penting harus disadari
bahwa lontara bukan sekedar abjad atau sebuah simbol fonetik dan fonologi dalam
sebuah kata akan tetapi konstruksi moral yang luar biasa yang terkandung
didalamnya. Nilai moral itulah yang gagal muncul dikehidupan masyarakat modern
karena kegagalan mempertahankan lontara sebagai identitas rakyat Sulawesi
Selatan pada umumnya. Adapun jaman sekarang yang mempertahankannya namun hanya
segelintir orang. Rumpun tetangga (Tator) terkenal karena mempertahankan
peradabannya, kenapa rumpun bugis tidak padahal lontara telah membentuk karya
sastra terpanjang didunia yaitu Lagaligo
Generasi muda jaman sekarang
kurang memahami apa itu sebenarnya lontara. Banyak kalangan memahami hanya
sebatas abjad namun jarang yang memahami bahwa Aksara Lontara berfungsi sebagai
abjad (simbol bunyi). Namun yang paling adalah berisi nasehat atau
petuah-petuah yang bernilai moral tinggi. Disetiap abjad yang membentuk kata
memiliki filosofi tersendiri dan dapat ditemukan dalam segelintir buku kajian
lontara. Setiap kata yang terbentuk dikonstruksi oleh filosofi lontara.
Fenomena inilah yang membuat kajian antropolingustik dari lontara sangat rumit,
hal ini menandakan betapa tinggi filosofi moral dalam lontara. Jika dianalisis
lebih dalam akan memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap perkembangan
ilmu antropolinguistik modern.
Seiring perkembangan jaman
semua yang ada dalam lontara akan hilang jika masyarakat tidak mampu
merekonstruksinya kembali, kejayaan peradaban masa lalu akan hanya tinggal
sebuah cerita kepada generasi selanjutnya.
Kekuatan Semiotika
Lontara
Dalam ilmu antropolinguistik jaman sekarang dikenal
yang namanya teori Semiotik indeksikal yang dicetuskan oleh Michael Silverstein
seorang ilmuawan dibidang Antropologi, Linguistik dan Psikologi di Universitas
Chicago USA. Teori indeksikal ini adalah perkembangan teori semiotika Pierce
(1940) yang membagi tanda dalam trikotomi kedua yakni icon, symbol dan index.
Teori ini memandang bahasa sebagai teks dimana
ujaran berkaitan dengan suara-suara kelompok tertentuk dan suara-suara
tersebut berkaian dengan posisi-posisi interaksional. Mengenai suara (voice)
dapat dilihat pada teori dialogisme Bakhtin (1935)
Apa
hubungannya teori diatas dengan Lontara ? Perlu diketahui bahwa teori diatas
membangun kekuatan sosial (social power) dalam kehidupan sosial. Posisi lontara
ada pada konsep suara (voice) dimana lontara merupakan kumpulan suara-suara
keraifan lokal yang bermoral tinggi yang direkonstruksi kekuatannya oleh teori
semiotika baik index maupun indeksikalitas kedalam berkomunikasi. Hal masih
jarang ditemukan analisisnya baik dari segi linguistik maupun sosial budayanya.
Kekuatan
sosial lontara terletak pada nilai moral termasuk salah satunya yang terkenal
adalah ajakan untuk tolong menolong. Ada satu jalan yang mudah untuk
merekonstruksi lontara yakni lewat ujaran dalam berkomunikasi berbasis
indeksikal. Setiap ujaran yang berkaitan dengan teks-teks lontara akan membuat
ujaran memiliki kekuatan sosial. Kekuatan ini dibangun oleh proses
indeksikalisasi dalam berbahasa.
Mengatakan mali’ siparappe, rebba sipatokkong,
sipakalebbi’, sipakainge, sipakatau dalam sebuah pidato dan ujaran akan
menimbulkan efek sosial kepada siapa yang mendengarnya. Kata-kata ini merupa
teks lontara yang tertulis dalam akasara lontara. Ujaran ini pula mengindeks ke
nilai moral lontara, suara kearifan lokal dan membentuk relasi intertekstual
antara ujaran dengan teks lontara. Proses indeks ini yang menimbulkan efek
sosial kepada pendengarnya seperti efek rasa kagum, kepercayaan, inspirasi,
rasa hormat dan lain-lain. Pada tingkat partisipan atau pemakai bahasa ujaran
ini mengindeks kepada siapa yang mengucapkannya sehingga nilai lontara ikut
membuat kepribadian sesorang menjadi kuat.
Ditingkat struktural, setiap
kata yang ditulis dalam aksara lontara dikonstruksi banyak filosofi karena
setiap aksara yang membentuk kata merupakan symbol yang mewakili masing-masing
satu filosofi. Filosofi-filosofi tersebut dapat ditemukan diberbagai buku
kajian lontara.
Meskipun sudah banyak yang
mengkaji lontara secara struktural namun itu takkan pernah cukup untuk memahami
makna lontara itu sendiri. Sudah saatnya lontara diajarkan pada tingkat
filosofi dan praktik.
Penulis : Masdar
Pekerjaan :
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris
Konsentrasi Linguistik
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin
No. HP :
085255380592
No comments:
Post a Comment